Tuesday, November 5, 2019

Aku Mencoba Bersabar Saat Dunia Yang Kupijak Tidak Lagi Memberikan Kenyamanan





"Sabar,suatu saat nanti kamu bakalan menang"
Ucapan itu kembali terngiang seperti roll film yang menghantui. Sungguh,aku bukan orang yang puitis tapi lebih kepada belajar pada realita. Perkataan menang itu begitu mustahil untuk kuraih. Sungguh sulit aku akan menang dalam peperangan ini.
Terkadang banyak dari mereka tak memahami apa yang aku rasakan. Mereka hanya melihat tanpa mau merasakan pesakitan yang ku derita. Sekali lagi, ini tentang kehidupan yang sebenarnya. Tentang perasaan yang berperan didalamnya. Dan juga tentang hati. Bukankah kehidupan itu mengajari kita arti dari sebuah pengalaman? Dan inilah pengalaman yang tak ingin aku lewati.
Setiap kali perkataan menyakitkan itu singgah di hatiku. Aku selalu mengelak bahwa itu salah. Nyatanya memang benar. Bagaimana bisa aku mencoba mengalihkan semuanya? Jika apa yang tampak dan bicarakan itu benar.

"Sudah berapa kali kukatakan. Aku tidak membenci hanya sekedar tidak suka"
 Perasaan meradang itu kian menyapa. Membuatku menjadi bumerang untuk sekedar berfikir "bagaimana dengan keadaanku?" Terkadang,aku menangis pilu sendirian di sudut kamarku. Meratapi nasib yang tak kunjung berakhir.
Aku bukan orang baik. Betul. Aku juga bukan orang jahat. Tapi hatiku selalu meronta untuk meminta keadilan yang sama.  Tidakkah ini menyakitkan?
Kesabaranku diatas ambang kemampuanku. Aku selalu merintih kesakitan dikala rasa sakit itu menyapa tanpa mau memberikan ruang sedikit untuk ku bisa bernafas. Sekali lagi,ini tidak adil.

"Benarkah Tuhan sedang menghukum ku?"
Aku yakin,Tuhan tidak sedang menghukum ku. Tapi memberikanku ruang untuk belajar bahwa "dunia ini tak seindah apa yang dibayangkan"
 Sejujurnya,aku sudah lelah. Bisakah pesakitan ini berakhir. Aku juga ingin bahagia seperti yang lainnya..

Penulis : Nanik Puji Astutik

Sunday, January 6, 2019

Ibu Ajarkan Aku Untuk Bersabar. Ayah Ajarkan Aku Untuk Selalu Kuat.

(Sumber : Google)



Untuk bersabar rasanya aku tak sanggup. Beban hidupku terlalu berat untuk ku pikul. Ia bahkan sering kali membuatku tak nyaman dan tak tenang.

Ibu,aku ingin bertanya padamu. Apa yang membuatmu bisa sabar? Mendidik kami dengan penuh kasih-sayang. Memberikan yang terbaik. Bahkan engkau juga bekerja. Apa yang membuatmu bisa setegar itu dalam mengarungi kehidupan ini? Sedangkan aku selalu mengeluh karena hidupku tak sesuai keinginanku.
Engkau pernah berkata sambil mengelus puncak kepalaku

"Anakku,hidup ini ibaratkan nelayan. Kamu siap berlayar dimana saja,tapi pastikan kamu punya pegangan. Dan ikan yang mengail pada pancing ibaratkan rezeki. Oleh sebab itu,ombak yang tenang dan besar akan siap menerjang siapa saja"

Aku tersenyum mengingat nasehatmu yang penuh dengan cinta. Ternyata untuk belajar pun aku harus siap menjadi nelayan. Terima kasih,Ibu. Hari ini aku bisa tenang karena mendapatkan petuah cinta darimu.

Pun aku juga ingin belajar pada Ayah. Kenapa Ayah begitu kuat menghadapi kehidupan ini? Ia yang mencari nafkah untuk keluarga. Tak kenal hujan,panas,letih dan lelah selalu saja semangat. Apa yang menjadi rahasiamu,Yah?

Aku teringat,Ayah pernah memberikanku syair cinta yang justru membuatku malu karena selalu mengeluh.

"Anakku,kekuatan Ayah itu ada pada keluarganya. Ia siap melakukan apapun untuk bisa memberikan yang terbaik untuk orang dicintainya. Kamu tahu kenapa? Karena tak ada yang bisa menggantikan lelahnya Ayah selain senyuman kalian"

Aku terharu mendengarnya. Air mataku mengalir membasahi pipiku. Rasanya aku sangat malu karena selalu mengeluh. Suka membandingkan hidupku dengan orang lain. Padahal aku sudah lebih dari cukup. Terima kasih,Ayah. Kalian  memang yang terbaik.