Friday, January 5, 2024

Kamu Tahu Rasa Sakitku?




"Aku capek" keluhku beberapa kali.

Bukan tanpa sebab aku mengucapkannya. Karena badan,pikiran dan mentalku terasa dicabik-cabik oleh keadaan. 

Aku berjuang untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik. Di perantauan seorang diri. Berbekal keyakinan bahwa "usaha tidak akan pernah mengkhianati hasilnya" 

Nyatanya tak seindah apa yang aku bayangkan. Tidak sebahagia yang aku harapkan. Sudah banyak yang ku korbankan. Berjauhan dari suami dan anak keduaku,salah satunya. Aku menjerit kesakitan seorang diri. Dadaku terasa sesak bagaikan dihantam bebatuan. Sakit.

Aku mempercayai seseorang yang bisa kuajak keluh kesah. Jujur,aku tidak memiliki teman untuk kuajak berbagi disini. Ada satu teman yang aku katakan dia baik dan Sholehah (dia pakai cadar). Nyatanya,tidak seperti itu. 

 Kecewa rasanya,orang yang kuanggap saudara lebih mementingkan dirinya sendiri. Bukannya aku ingin egois,tidak. Tapi bisakah mereka mengerti keadaan dan kondisiku?

 Awal mulanya sekitar 3 bulan yang lalu,selepas Maghrib aku menghampiri Kenzie yang sedang bermain bersama teman-temannya. Lalu aku di panggil oleh penjual gorengan.

"Mba,sini dulu!" Ucapnya.

Aku yang masih mengawasi Kenzie langsung menghampirinya "ada apa?" Jawabku.

"Mba,saya boleh ijin nggak?"

"Ijin apa?"

"Saya mau jualan ciki"

"Oh,nggak apa-apa kalau cuman jualan ciki. Emang mau jualan dimana?"

"Di depan sana!" Jawabnya sambil menunjuk ruko yang menjadi tempat singgahnya.

"Udah ijin ke Teh Lia belum? Soalnya kan lebih dekat" ujarku jujur.

"Nggak,mba. Ke mba saja"

"Oalah,iya.. iya. Nggak apa-apa sih kalau jualan ciki. Insyaallah rezeki sudah ada yang ngatur"

"Iya,Mba. Tahu kan gerobakku yang satunya lagi disana. Nah disana masih ada tanggungan. Jadi sama orangnya jualan yang dirumahnya dipindahin disini. Ya,biar istri saya ada penghasilan " jelasnya panjang lebar. 

"Ya,gpp. Semoga saja tol juga cepet beres dan dibuka. Biar daganganku ramei lagi"

Setelah percakapan singkat itu,aku menghampiri Kenzie dan membawanya pulang. Kulihat istrinya juga sibuk dengan. Anaknya. Dan aku memutuskan untuk pulang. 

Setelah percakapan itu,3 hari kemudian mereka membuka warung. Yang awalnya  cuman mau jualan ciki ternyata jualannya sama. "Wah,nggak bener nih orang" kesalku. 

Aku hanya bisa melihat dari kejauhan,kenapa mereka bisa seenaknya melakukan hal seperti itu? Istrinya tahu bagaimana daganganku dengan hasil yang sedikit karena dia sering main di tempatku sambil membawa anaknya.

Setiap malam aku hanya bisa menangis dan berdoa. Semoga Allah memudahkan jalanku. Memperluas lagi rezekiku. Dan keinginanku terwujud dalam waktu dekat. Saat selesai sholat aku selalu berdoa "semoga Allah membukakan hati mereka" ternyata,mereka semakin terlena dengan kedzhalimannya. 

Karena tidak tahan,akhirnya siang itu aku menemuinya. Tepatnya di toko kosmetik yang tidak jauh dari tempatku. 

"Mba,maaf ya sebelumnya" ucapku sembari mengucapkan kata maaf. Aku tahu seperti apa lidahku. Jadi,untuk memastikan lidahku tidak mengeluarkan kata-kata kasar dan menyakitkan. Kuucapkan kata maaf terlebih dahulu.

"Ya,mba" jawabnya sambil memegang anaknya.

"Mba,tolong ya jangan ngacak-ngacak harga"

"Emangnya kenapa?"

Kuhela nafasku sebentar,ingin rasanya aku teriaki. Tapi aku tidak bisa. Karena mentalku sudah rusak,kadang aku tidak bisa mengendalikan amarahku sendiri. Miriskan?

"Kalau jualan jangan terlalu di murahin. Misalkan minuman yang 1 kartoon harganya 30 ribu,jangan dijual 3000 tapi 3500. Karena itu sudah harga pasarnya. Dan kalau jualan teh pucuk juga sama. Karena teh pucuk juga naik"

"Oh ya,tapi kalau teh pucuk kalau jual ke anak sekolah 3000"

"Nah itu salahnya. Kasian tetanggamu yang lain. Tolonglah jangan ngacak-ngacak harga"

 Setelah mengucapkan itu,aku mulai beranjak. Tapi lupa satu hal "mba,jujur banget. Sebenarnya aku kesel banget sama sampean dan suami" 

"Lah kenapa?" Jawabnya enteng seolah-olah tak berdosa.

"Kok bisa sih mba kamu jualan yang sama. Padahal kamu tahu kan daganganku. Kok bisa"

"Makanya warungnya di penuhi lagi"

"Itu sudah pernah saya isi lagi  dan banyak orang pindah. Ngutangnya ke aku kalau belanja di tempat lain"

"Ya,jangan dihutangin"

"Gimana caranya aku ngomongnya,nggak enak,mba" 

Reda percakapan sedikit karena ada selingan dari tetangga lain dan kita tertawa canggung. 

"Mba,boleh nggak aku jualan gorengan" ucapku serius.

"Boleh kok. Rezeki sudah ada yang ngatur"

"Tapi,maaf mba. Aku nggak bisa. Karena aku tahu rasanya di dzolimi dan aku tidak mau ngelakuin hal yang sama"

Dia terdiam dan membisu. Lalu kulanjutkan. "Orang cuman pinter ngomong,tapi nggak pernah ngerasain apa yang aku rasain. Kamu tahu ceritaku,kamu tahu perjuanganku. Kok bisa kamu ngelakuin kayak gini" 

Aku mendongakkan kepalaku sambil menatapnya dan dia masih memegang anaknya. "Jika ada orang yang bilang 'mba,jangan egois. Rezeki sudah ada yang ngatur' maka aku jawab tolong jangan serakah" stelah mengucapkan itu aku pergi berlalu meninggalkannya.

Yang membuatku marah sejak lama karena dagangannya sama. Karena awalnya cuman ingin jualan ciki agar istrinya berpengasilan. Ternyata istrinya masih bisa main di sela2 jaga warungnya. Jujur banget,saat Kenzie seusia anaknya,aku nggak pernah kemana-mana hanya di warung. Sesekali nongkrong di tetangga itupun tidak setiap hari.

 Aku tidak meminta orang lain berpihak padaku,lalu membela. Tidak. Aku tidak butuh dibela. Aku hanya ingin mereka menilai sendiri lalu mempertimbangkannya. 

Aku trauma bertemu sama orang lain. Takut mengakrabkan diri. Takut sekali. Karena Takut diperlakukan hal yang sama. Ditusuk dari belakang sama orang yang sudah akrab lebih menyakitkan.


Penulis : Nanik Puji Astutik


Nb : cerita ini bukan karangan semata. Ini murni kisahku tanpa menambah-menambahkan atau menyelipkan drama agar terlihat dramatis,tidak. Ini real dan nyata.